ABOUT US

Our development agency is committed to providing you the best service.

OUR TEAM

Get to know our team of adminstrastor fanpages.

  • Prince Amiey

    Administrator/Founder

    Walkers fanpages and facebugis design.

  • Lan Arase

    Administrator/Owner website

    I'm a blog writer and a webmaster.

  • Nasrullah

    Administrator/proposal

    A man in the history of bugis history in the archipelago

WELCOME TO OUR BLOG

Welcome to our blog "facebugis' .. Welcome join us and do not like, follow our fanpages on facebook, twitter and instagram.

PORTFOLIO

We pride ourselves on bringing a fresh perspective and effective marketing to each project.

  • Kepercayaan Bugis Sebelum Islam

    Hnaya gambar biasa

    Kepercayaan Bugis Kuno Sebelum Mengenal Islam

    Sebelum masyarakat bugis mengenal islam mereka sudah mempunyai “kepercayaan asli” (ancestor belief) dan menyebut Tuhan dengan sebutan ‘Dewata SeuwaE’, yang berarti Tuhan kita yang satu. Bahasa yang digunakan untuk menyebut nama ‘Tuhan’ itu menunjukkan bahwa orang Bugis memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa secara monoteistis. Menurut Mattulada, religi orang Bugis masa Pra-Islam seperti tergambar dalam Sure’ La Galigo, sejak awal telah memiliki suatu kepercayaan kepada suatu Dewa (Tuhan) yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama : PatotoE (Dia yang menentukan Nasib), Dewata SeuwaE (Dewa yang tunggal), To-Palanroe (sang pencipta) dan lain-lain.

    Kepercayaan dengan konsep dewa tertinggi To-Palanroe atau PatotoE, diyakini pula mempunyai anggota keluarga dewata lain dengan beragam tugas. Untuk memuja dewa–dewa ini tidak bisa langsung, melainkan lewat dewa pembantunya. Konsep deisme ini disebut dalam attoriolong, yang secara harfiah berarti mengikuti tata cara leluhur. Lewat atturiolong juga diwariskan petunjuk–petunjuk normatif dalam kehidupan bermasyarakat. Raja atau penguasa seluruh negeri Bugis mengklaim dirinya mempunyai garis keturunan dengan Dewa–dewa ini melalui Tomanurung (orang yang dianggap turun dari langit/kayangan), yang menjadi penguasa pertama seluruh dinasti kerajaan yang ada. (Kambie, 2003).

    Istilah Dewata SeuwaE itu dalam aksara lontara, dibaca dengan berbagai macam ucapan, misalnya : Dewata, Dewangta, dan Dewatangna yang mana mencerminkan sifat dan esensi Tuhan dalam pandangan teologi orang Bugis. De’watangna berarti “yang tidak punya wujud”, “De’watangna” atau “De’batang” berarti yang tidak bertubuh atau yang tidak mempunyai wujud. De’ artinya tidak, sedangkan watang (batang) berarti tubuh atau wujud. “Naiyya Dewata SeuwaE Tekkeinnang”, artinya “Adapun Tuhan Yang Maha Esa itu tidak beribu dan tidak berayah”. Sedang dalam Lontara Sangkuru’ Patau’ Mulajaji sering juga digunakan istilah “Puang SeuwaE To PalanroE”, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta. Istilah lain, “Puang MappancajiE”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Konsep “Dewata SeuwaE” merupakan nama Tuhan yang dikenal etnik Bugis–Makassar. (Abidin, 1979 : 12 dan 59).

    Kepercayaan orang Bugis kepada “Dewata SeuwaE” dan “PatotoE” serta kepercayaan “Patuntung” orang Makassar sampai saat ini masih ada saja bekas-bekasnya dalam bentuk tradisi dan upacara adat. Kedua kepercayaan asli tersebut mempunyai konsep tentang alam semesta yang diyakini oleh masyarakat pendukungnya terdiri atas tiga dunia, yaitu dunia atas (boting langi), dunia tengah (lino atau ale kawa) yang didiami manusia, dan dunia bawah (peretiwi). Tiap-tiap dunia mempunyai penghuni masing-masing yang satu sama lain saling mempengaruhi dan pengaruh itu berakibat pula terhadap kelangsungan kehidupan manusia. Untuk mengetahui lebih jauh tentang kepercayaan Patuntung, lihat : Martin Rossler, “Striving for Modesty : Fundamentals of The Religion and Social Organization of The Makassarese Patuntung”, dalam BKI deel 146 2 en 3 en aflevering, 1990 : 289 – 324 dan WA Penard, “De Patoentoeng” dalam TBG deel LV, 1913 : 515 – 54.

    Gervaise dalam “Description Historique du Royaume de Macacar” sebagaimana dikutip Pelras (1981 : 168) memberikan uraian tentang agama tua di Makassar. Menurut Gervaise orang-orang Makassar zaman dahulu menyembah Dewa Matahari dan Dewa Bulan yang disembah pada waktu terbit dan terbenamnya Matahari atau pada saat Bulan tampak pada malam hari. Mereka tidak mempunyai rumah suci atau kuil. Upacara sembahyang dan Kurban–kurban (Bugis : karoba) khususnya diadakan di tempat terbuka. Matahari dan Bulan diberi kedudukan yang penting pada hari-hari “kurban” (esso akkarobang) yang selalu ditetapkan pada waktu Bulan Purnama dan pada waktu Bulan mati, karena itu pada beberapa tempat yang sesuai disimpan lambang-lambang Matahari dan Bulan. Tempat ini dibuat dari tembikar, tembaga, bahkan juga dari emas (Pelras, 1981 : 169).

    Selain menganggap Matahari dan Bulan itu sebagai Dewa, orang Bugis Makassar pra-Islam juga melakukan pemujaan terhadap kalompoang atau arajang. Kata “Arajang” bagi orang Bugis atau “Kalompoang” atau “Gaukang” bagi orang Makassar berarti kebesaran. Yang dimaksudkan ialah benda-benda yang dianggap sakti, keramat dan memiliki nilai magis. Benda-benda tersebut adalah milik raja yang berkuasa atau yang memerintah dalam negeri. Benda-benda tersebut berwujud tombak, keris, badik, perisai, payung, patung dari emas dan perak, kalung, piring, jala ikan, gulungan rambut, dan lain sebagainya. (Martinus Nijhoff, 1929, 365-366).


    KEPERCAYAAN BUGIS ANTARA ISLAM  DAN TO LOTANG


    Rasanya, hampir semua orang bila mendengar nama bugis pikirannya langsung tertuju pada salah satu makanan khas Indonesia berbahan dasar tepung ketan dengan isian kelapa dan gula di dalamnya. Namun, Bugis juga merupakan nama sebuah suku yang ada di Indonesia.

    Suku Bugis adalah masyarakat asli dari Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah masyarakat suku Bugis di tahun 2000 mencapai angka enam juta jiwa. Suku Bugis tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Pinrang, Barru, dan Sidrap. Salah satu ciri khasnya adalah sistem kepercayaan suku Bugis.

    Sistem Kepercayaan Agama Islam

    Masyarakat suku Bugis dengan segala kebudayaan dan adat istiadat juga memiliki sistem kepercayaan. Kepercayaan suku Bugis yang banyak dianut sejak abad ke-17 adalah Islam. Islam dibawa oleh para pesyiar dari daerah Minangkabau.

    Para pesyiar tersebut membagi wilayah penyebaran agama Islam menjadi tiga wilayah. Di wilayah Gowa dan Tallo, penyiar yang ditugaskan adalah Abdul Makmur. Di wilayah Luwu, yang diperintahkan untuk menyiarkan ajaran Islam adalah Suleiman. Untuk wilayah Bulukumba, Nurdin Ariyani yang ditugaskan untuk bersyiar.

    Sistem Kepercayaan To Lotang

    Selain Islam, kepercayaan suku Bugis lainnya adalah sistem kepercayaan To Lotang. Sistem kepercayaan To Lotang memiliki penganut sebanyak 15 ribu jiwa. Masyarakat yang menganut sistem kepercayaan To Lotang tinggal di wilayah Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang.

    Sistem kepercayaan To Lotang didirikan oleh La Panaungi. Kepercayaan ini ada karena pendirinya mendapatkan ilham dari Sawerigading. Sawerigading adalah jenis kepercayaan yang memuja Dewata SawwaE.

    Kitab suci bagi penganut sistem kepercayaan ini adalah La Galigo. Isi yang terkandung dalam kitab tersebut diamalkan turun-menurun secara lisan dari seorang uwak atau tokoh agama kepada para pengikutnya.

    Sistem kepercayaan ini memiliki tujuh orang tokoh agama, yang diketuai oleh seorang Uwak Battoa. Sementara itu, tokoh agama yang lain mengurusi hal-hal mengenai masalah sosial, usaha tanam, dan penyelenggaraan upacara ritual.

    To Lotang menurut bahasa Bugis artinya adalah 'orang selatan'. Zaman dulu, masyarakat ini sering mengungsi dari satu daerah ke daerah lain di Sulawesi Selatan. Setelah berkali-kali mengungsi, pada 1609, masyarakat dengan sistem kepercayaan ini menetap di Amparita berkat perintah dari Raja Sidendreng.

    Suku Bugis memiliki beberapa kerajaan, di antaranya Kerajaan Wajo, Kerajaan Soppeng, Kerajaan Makassar, dan Kerajaan Bone. Kerajaan yang terdapat di sekitar suku Bugis sering mengalami konflik. Biasanya, konflik di antara mereka terjadi akibat perebutan daerah kekuasaan.



    Telah dibahas dalam artikel yang lalu bahwa suku Bugis adalah suku yang mendiami daerah Sulawesi Selatan. Namun karena akar suku Bugis adalah Melayu dan Minangkabau, maka kegiatan merantau tidak dapat dipisahkan dari suku ini. Maka tidak heran jika suku Bugis tersebar di berbagai wilayah di Nusantara ini. Menurut sensus penduduk pada tahun 2000, masyarakat Bugis jumlahnya mencapai enam juta jiwa. Suku Bugis yang ada di Indonesia mayorita mendiami Sulawesi Selatan, yang mencakup kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Barru, Pinrang dan Sidrap.

    kepercayaan masyarakat Bugis

    Selain memiliki adat istiadat masa lalu yang erat kaitannya dengan animisme dan dinamisme atau penyembahan roh dan berhala, namun ada juga sistem kepercayaan masyarakat Bugis. Pada umumnya sistem kepercayaan suku Bugis terbagi menjadi dua, yakni sistem kepercayaan To Lotang dan Agama Islam. Kami akan membahas keduanya satu persatu.
    Sistem Kepercayaan To Lotang

    To Lotang dalam bahasa Bugis artinya “orang selatan”. Kepercayaan To Lotang adalah kepercayaan yang menyembah Dewata SawwaE sebagai Tuhan. Kepercayaan ini ada dikarenakan pendirinya mendapatkan ilham dari Sawerigading. Sawerigading inilah yang pertama kali memuja Dewata SawwaE. Sistem kepercayaan ini memiliki penganut kurang lebih 15 ribu jiwa. Persebaran masyarakat yang menganut sistem kepercayaan ini ada di wilayah Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sindendreng Rappang.

    Kepercayaan ini memiiki sebuah kita suci yang diberi nama La Galigo. Isi yang ada dalam kitab ini diamalkan secara turun temurun dan ditularkan secara lisan oleh uwak atau tokoh agama kepada para pengikutnya. Dalam sistem kepercayaan ini ada tujuh tokoh agama yang diketuai oleh soerang Uwak Battoa. Dari tujuh tokoh agama tersebut, enam tokoh diantaranya mengurusi permasalahan seperti masalah sosial, usaha tanam dan penyelenggaraan ritual kepercayaan. Pada zaman dulu, masyarakat ini sering mengungsi ke daerah lain di Sumatera Selatan, namun pada tahun 1609, masyarakat ini diberikan tempat oleh Rja Sindendreng di Amparita hingga saat ini.
    Agama Islam dalam masyarakat Bugis

    Agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Bugis sejak abad ke-17 adalah Islam. Adalah masyarakat Minangkabau yang membawa Islam ke tanah Bugis, utamanya pada da’i dari daerah Sumatera Barat. Pesyiar atau para da’i membagi wilayah penyebaran Islam dalam tiga wilayah yang berbeda. Ada Abdul Makmur yang ditugaskan untuk menyiarkan Agama Islam di tanah Gowa dan Tallo. Suleiman diperintah untuk mengajarkan Islam di daerah Luwu, sedangkan untuk daerah Bulukumba, Nurdin Ariyani terpilih untuk bersyiar disana.

    Pada masa itu suku Bugis memiliki banyak kerajaan, diantaranya Wajo, Soppeng, Makassar dan Bone. Hal ini mengakibatkan seringnya terjadi konflik di masa lalu yang umumnya dipicu oleh perebutan daerah kekuasaan dan sumber daya alam. Pada masa itu Islam datang yang memicu kebesaran kerajaan Gowa dan Tallo untuk menyingkirkan konflik yang ada. Kerajaan inilah yang menghasilkan pahlawan terkenal, Sultan Hasanudin.


    Kepercayaan Masyarakat Bugis Terhadap Sawerigading


    Dengan adanya kisah yang unik mengenai Sawerigading, maka muncullah berbagai kepercayaan bagi masyarakat Bugis, khususnya yang berkenaan dengan aspek religius.
    Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Bugis, Sawerigading memiliki kekuatan supranatural, karena ia merupakan keturunan dewa (to manurung). Bahkan ada yang menganggapnya sebagai Nabi yang diturunkan ke bumi.
    Dari kisah perjalanan Sawerigading ke berbagai negara, muncul anggapan bahwa ia pernah bertemu dengan Nabi Muhammad. Dalam pertemuannya itu, ia sempat melakukan diskusi dan mengadakan adu ketangkasan. Dalam adu ketangkasan itu, sempat draw (seri) sebanyak dua kali, dan barulah pada pertandingan terakhir, Sawerigading mengakui kehebatan Nabi Muhammad.
    Menurut kepercayaan tersebut, Sawerigading mempunyai ajaran yang mirip dengan ajaran Islam, yaitu salat dan naik haji. Perbedaannya hanya dari segi pelaksanaannya, yaitu salatnya hanya melalui batinnya. Selain itu, Sawerigading menganjurkan anak cucunya untuk mengunjungi Mekah, karena di sisi Ka’bah terdapat nama Sawerigading.
    Bahkan ada paham yang berkembang bahwa mengunjungi puncak gunung Pensemeuni, di tepi Sungai Cerekang (Malili), sama halnya dengan menunaikan ibadah haji. Sebab, di tempat itulah turunnya Batara Guru ke dunia.
    Yang lebih unik lagi adalah kepercayaan masyarakat Towani-Tolotang yang ada di Kabupaten Sidrap. Mereka beranggapan bahwa Sawerigading kembali ke Mekah dan mendampingi Nabi Muhammad dalam setiap pertempuran. Di tangan Sawerigading terdapat satu juz al-Quran, yang belum ikut terkodifikasikan bersama 30 juz lainnya. Karenanya, mereka tidak mengakui keberadaan al-Quran mushaf Usmani, karena belum lengkap. Sampai sekarang, mereka tetap menunggu kedatangan Sawerigading untuk membawa 1 juz al-Quran itu kepadanya.
    Referensi Makalah®
    Kepustakaan:
    Sarita Pawiloi, Sejarah Pendidikan di Sulawesi Selatan, Jakarta : IDKD Depdikbud, 1982. H.D.Mangemba, Sawerigading ke Cina, Ujungpandang : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1987. Sumange Alam Tjahra, Beberapa Pandangan tentang Isi Sure’ I La Galigo, Ujungpandang : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1987


    Kepercayaan Bugis, Makassar, Mandar. dan Toraja sebelum Islam

     Sejak dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan telah memiliki aturan tata hidup. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepecayaan. Orang Bugis menyebut keseluruhan sistem tersebut Pangngadereng, orang Makassar Pangadakang, Orang Luwu menyebutnya Pangngadaran, Orang Toraja Aluk To Dolo dan Orang Mandar Ada’.
    Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi Selatan telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Dewata SeuwaE (dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan istilah PatotoE (dewa yang menentukan nasib). Orang Makassar sering menyebutnya dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang maha kedendak) dan orang Toraja menyebutnya Puang Matua (Tuhan yang maha mulia).
    Mereka pula mempercayai adanya dewa yang bertahta di tempat-tempat tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di Gunung Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE. Dewa PatotoE kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru.
    Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas di puncak Himalaya. Kira-kira satu abad sebelum Masehi Batara Guru menuju ke Cerekang Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah kasta Puang, kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan.
    Selian itu Batara Guru juga dipercaya membawa enam macam bahasa. Keenam bahasa tersebut dipergunakan di daerah-daerah jajahannya. Keenam bahasa itu adalah:
    a. Bahasa TaE atau To’da. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim di wilayah Tana Toraja , Massenrengpulu dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan kesenian yang bernama Gellu’.
    b. Bahasa Bare’E. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Poso Sulawesi Tengah. Mereka dibekali dengan kesenian yang disebutnya Menari.
    c. Bahasa Mengkokak, bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Kolaka dan Kendari Sulawesi Tenggara. Mereka pula dibekali dengan kesenian, yang namanya Lulo’.
    d. Bahasa Bugisi. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di Wajo seluruh daerah disekitarnya dan dibekali dengan kesenian Pajjaga.
    e. Bahasa Mandar. Bahasa ini dipergunakakan oleh masyarakat yang berdiam di wilayah Mandar dan sekitarnya. Mereka dibekai dengan kesenian Pattundu.
    f. Bahasa Tona. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah Makassar dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan kesenian dan sebutnya Pakkarena.
    Keturunan Batara Guru tersebar ke mana-mana. Keturunannya terbagi-bagi pada seluruh wilayah jelajahnya yang meliputi wilayah bahasa tersebut diatas. Mereka menduduki tempat-tempat yang strategis seperti puncak-puncak gunung. Beberapa gunung yang mereka jadikan tempat strategis adalah sebagai berikut:
    a. Dipuncak Gunung Latimojong. Mereka menyebut Puang ri Latimojong dengan gelar Puang Ma’tinduk Gallang, Puang Ma’taro Bessi, Dewata Kalandona Buntu, Puang Lajukna Tanete.
    b. Dipuncak Gunung Nonaji. Mereka mengelari Puang ri Sinaji dengan Dewata Mararang Ulunna, Maea Pa’barusunna, Borrong Lise’matanna.
    c. Di puncak Gunung A’do, dengan nama Puang Tontoria’do’.
    d. Di tasik Mengkombong dengan nama Londong di Langi
    e. Di Napo’ (Dende’) dinamakan Datue ri Naopo.
    Dengan pengawasan Batara Guru melalui puncak gunung yang tinggi, ia melantik anak-anak keturunannya untuk menjadi raja di tiga kerajaan besar. Ketiga kerajaan yang dimaksud adalah Pajung di Luwu, Somba di Gowa dan Mangkau di Bone. Kemudian disusul dengan kerajaan-kerajaan bagian, seperti Addatuang Sidenreng, Datu Soppeng, Arung Matoa Wajo, Arajang di Mandar, Puang di Tana Toraja dan sebagainya. Kepemimpinan dari raja-raja ini dimotori oleh kharisma dan kesaktian dewa-dewa yang menguasai puncak ketinggian di Sulawesi Selatan.
    Di antara kepercayaan sebagian penduduk Sulawesi Selatan adalah Aluk To Dolo oleh orang Toraja. Sebelum masuknya agama Islam sebagian penduduk Sulawesi Selatan telah mempercayai terhadap sesuatu yang Maha Pencipta, pengatur segenap alam. Mereka menyebutnya dengan “Puang Matua”. Pemimpin Aluk To Dolo disebut Burako memimpin dua aluk yaitu Aluk Mata Allo dan Aluk Mata Ampu. Kedua aluk tersebut merupakan cara pengaturan jagad raya. Aluk Mata Allo dianut oleh penduduk Tana Toraja bagian Timur dengan tatacara upacara keagamaan dan kemasyarakatan bercorak aristokratis. Sedangkan Aluk Mata Ampu dianut oleh masyarakat Tana Toraja bagian Barat dengan tata upacara keagamaan kemasyarkatan yang bercorak kerakyatan. Pelaksanaan aluk-aluk tersebut yang mengilhami kebudayaan masyarakat Tana Toraja dalam aspek rohaniah, fisik dan tingkah lakunya.
    Pada zaman dahulu, masyarakat Tana Toraja mengenal empat puluh persekutuan adat yang dikenal dengan “Arruan Patampulo”. Keempat puluh persekutuan tersebut tergabung dalam daerah persekutuan yang disebut dengan “Lampangan Bulan” . Wilayahnya adalah meliputi Tana Toraja dan sekitarnya. Menurut Dr. Noorduyn bahwa persekutuan inilah yang merupakan masyarakat asli Sulawesi Selatan. Keberadaan mendahului priode Galigo dan priode Lontara yang mengadabtasi berbagai unsur kepercayaan dan kebudayan dari luar Sulawesi Selatan. Kepercayaan Aluk To Dolo masih dipercayai oleh banyak orang Toraja dewasa ini dengan bentuk-bentuk persekutuan kaum dalam lingkup-lingkup keluarga yang disebut Tongkonan. Ciri khas kepercayaannya yang dianut sejak dulu masih eksis dalam prilaku keagamaan dan adat masyarakat Toraja saat ini.
    Misteri makna dari sistem kepercayaan itu sampai saat ini belum diungkap secara memuaskan. Dari hasil pengamatan sementara, dapat dikatakan bahwa ketuhanan Aluk To Dolo bersifat monoteistik dan tidak mengenal hirach dewa-dewa. Puan Matua sebagai pencipta segala sesuatu, memberi berbagai aluk untuk tata tertib dalam kehidupan dunia. Puan Matua itu sendiri dapat dipahami penyataannya melalui penyelenggaraan berbagai macam upacara aluk yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup dalam rangka hubungan yang tetap dengan dunia roh-roh yang terdapat dalam dunia ini. (Noorduyn, 1964).
    Sisa-sisa kepercayaan yang mirip dengan kepercayaan Aluk To Dolo masih terdapat diberbagai tempat di daerah Sulawesi Selatan. Hal itu dapat tampak dengan jelas di Tana Toa Kajang (Kabupaten Bulukumba) dan di Onto, pegunungan terpencil di Camba dan Barru. Kepercayaan mereka dikenal oleh masyarakat luar dengan agama Patuntung. Agama Patuntung mempercayai adanya sesuatu yang Maha Kuasa, MahaTunggal dengan berbagai nama. Ada yang menamakannya Turia a’rana (yang berkehendak) dan sebagainya. Agama Patuntung dipercayai oleh persekutuan dan dipimpin oleh seorang yang mereka telah mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa dengan tanda-tanda tentang adanya sesuatu kelebihan di dalam kehidupannya. Oleh karena itu, Dia dipilih untuk memimpin kaum dan sekaligus menjadi pemimpin agama. Kaum menghormatinya sebagai makhluk yang suci ditaati segala kehendaknya.
    Saat ini penganut agama Patuntung sudah mendapat pengaruh dari luar. Penganut agama Patuntung yang dikenal sejak dahulu lebih memilih hidup memencilkan diri di daerah-daerah yang sukar dikunjungi oleh orang luar. Namun saat ini kebudayaan dari luar juga sempat mempengaruhi kebudayaan mereka. Hal ini dapat dilihat pada penyataan-pernyataan ritual mereka yang tergambar keadaan sikritisme. Tampak dalam unsur kepercayaannya telah dipengaruhi oleh kepercayaan yang mirip dengan kepercayaan agama Budha dan Islam. Pada umumnya agama Patuntung berpakaian yang berwarna gelap yaitu hitam atau biru tua.
    Selain kepercayaan Aluk To Dolo masih terdapat kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan, yaitu agama Towani Tolotang. Agama Towani Tolotang dianut oleh sebagian masyarakat Sindenreng Rappang, terutama di beberapa bagian pedalaman. Agama tersebut merupakan suatu kepercayaan yang mempercayai adanya kekuasaan alam yang tinggi yang mereka namai To PalanroE (orang yang mencipta), Dewa SeuwaE (Dewa yang tunggal). Dalam perurutan nama-nama yang mengandung aspek-aspek kedewaan terdapat nama Batara Guru, Sawerigading, Galigo dan sebagainya.
    Mereka mempercayai sebuah kitab suci, namanya Mitologi Galigo. Mereka menganggap ajaran dalam kitab ini sebagai jalan kebenaran yang tinggi, dan disitulah mereka mengambil pedoman tentang tata cara hidup kemasyarakatan seperti perkawinan di antara mereka, termasuk upacara dalam hidup keagamaan mereka lakukan dengan sangat ketat. Pada zaman dahulu orang Bugis tidak menguburkan mayat mereka, akan tetapi dibakar dan hasil pembakarannya dimasukkan ke dalam guci. Tentang pembakarannya mayat tersebut ada hubungannya dengan kepercayaan agama Tolotang atau Toani yang diduga asalnya dari Ware Luku sebagai tempat asal Mitologi Galigo.
    Abu Hamid, 1982, Selayang Pandang, Uraian Tentang Islam dan Kebudayaan (dalam buku Bugis Makassar Dalam Peta Islamisasi Indoensia), Ujung Pandang, IAIN.
    Abd. Kadir Ahmad, 2004, Masuknya Islam di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Ternggara, Makassar, Balai Litbang Agama Makassar.
    Mattuladda, 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar. Berita Antropologi No. 16 Fakultas Sastra UNHAS.
    ------------, 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis., Makassar: Disertasi.

    Sumber :Teluk Bone
  • Kebudayaan orang bugis di daerah sulawesi indonesia

    Budaya Sulawesi Selatan


    Di Sulsel terdapat banyak suku / etnik tapi yang paling majoriti ada 3 kumpulan etnik iaitu Makassar, Bugis dan Toraja. Demikian juga dalam penggunaan bahasa sehari-hari ke 3 etnik tersebut lebih dominan. Kebudayaan yang paling terkenal bahkan hingga ke luar negeri adalah budaya dan adat Tanah Toraja yang sangat khas dan sangat menarik.
    Sejak dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan telah mempunyai aturan tata hidup. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepecayaan. Orang Bugis menyebut keseluruhan sistem tersebut Pangngadereng, orang Makassar Pangadakang, Orang Luwu menyebutnya Pangngadaran, Orang Toraja Aluk To Dolo dan Orang MandarAda '.

    Lagu daerah daerah Sulawesi Selatan yang sangat popular dan sering dinyanyikan di antaranya adalah lagu yang berasal dari Makasar iaitu lagu Ma Rencong-rencong, lagu Pakarena serta lagu Anging Mamiri. Sedangkan lagu yang berasal dari etnik Bugis adalah lagu Indo Logo, serta lagu Bulu Alaina Tempe. Sedangkan lagu yang berasal dari Tana Toraja adalah lagu Tondo.

    Untuk rumah tradisional atau rumah adat di daerah Sulawesi Selatan yang berasal dari Bugis, Makassar dan Tana toraja dari segi seni bina tradisional ke tiga daerah tersebut hampir sama bentuknya. Rumah-rumah adat tersebut dibina di atas tiang-tiang sehingga rumah adat yang ada di sana mempunyai kolong di bawah rumahnya. Tinggi kolong rumah adat tersebut disesuaikan untuk setiap tingkatannya dengan status sosial pemilik rumah, misalnya sama ada seorang raja, bangsawan, orang berpangkat atau hanya rakyat biasa.

    Salah satu upacara adat yang terkenal yang terdapat di Sulawesi Selatan ada di Tanah Toraja (Tator) Upacara adat tradisional tersebut bernama upacara Rambu Solo (merupakan upacara dukacita / kematian). Upacara Rambu Solo merupakan upacara besar sebagai ungkapan rasa dukacita yang sangat mendalam.

    Suku Bugis

    Suku Bugis adalah salah satu suku yang menetap di Sulawesi Selatan. Ciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sabah sejak abad ke-15 sebagai tenaga pentadbiran dan peniaga di Kerajaan Gowa dan telah terakulturasi, juga boleh dikategorikan sebagai orang Bugis. Dianggarkan populasi orang Bugis mencapai angka enam juta jiwa. Kini orang-orang Bugis tersebar pula di pelbagai wilayah Indonesia, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Perak, Pulau Pinang, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga banyak yang merantau ke luar negara seperti di Malaysia, India, dan Australia.

    Suku Bugis sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat mengelakkan tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau maruah seseorang. Jika seorang ahli keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang sanggup membunuh ahli keluarganya hanya kerana tidak mahu menanggung malu dan tentunya melanggar undang-undang. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi sekurang-kurangnya masih diingat dan dipatuhi.


    Suku Makassar

    Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnik yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkassara 'bererti Mereka yang Bersifat Terbuka. Etnik Makassar ini adalah etnik yang berjiwa penakluk tetapi demokratik dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut.

    Berbicara tentang Makassar maka adalah serupa pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah. Hingga pada akhirnya kejatuhan Kerajaan Melaka pada Belanda, segala potensi dimatikan, mengingat suku ini terkenal sangat keras menentang Belanda. Di mana pun mereka bertemu Belanda, pasti diperanginya. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah seperti Karaeng Galesong, hijrah ke Tanah Jawa. Bersama armada lautnya yang perkasa, memerangi setiap kapal Belanda yang mereka temui. Oleh kerana itu, Belanda yang ketika itu di bawah pimpinan Spellman menggelarnya dengan "Si-Bajak-Laut"


    Suku Toraja

    Suku Toraja adalah suku yang menetap di pergunungan bahagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Majoriti suku Toraja memeluk agama Kristian, sementara sebahagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenali sebagai Aluk To Dolo. Kerajaan Malaysia telah mengakui kepercayaan ini sebagai sebahagian daripada Agama Hindu Dharma.

    Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to Riaja, yang bererti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamakan suku ini Toraja pada tahun 1909.Suku Toraja terkenal akan ritual pengkebumian, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pengkebumian Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.


    Suku Kajang

    Suku Kajang, salah satu suku tradisional, yang terletak di Sulawesi Selataan, tepatnya sekitar 200 km arah timur kota Makassar. Suku ini mempunyai ciri khas khusus dengan pakaian serba hitam, memakai serban warna hitam, dan tanpa alas kaki, walau panas terik matahari, atau berjalan ke bandar sekalipun.

    Mereka memegang tradisi nenek moyang yang disebut dengan "pappasang", semacam undang-undang tidak bertulis yang tidak boleh dilanggar. Siapa yang melanggar akan kena "pangellai", teguran atau hukuman. Salah satu bunyi hukum yang ada dalam "pappasang" adalah "Kajang, tana kamase-masea", yang ertinya tidak jauh dengan, "Kajang tanah yang sederhana / miskin". Dengan adanya "pappasang" ini, sehingga orang-orang yang berdiam di dalam kompleks adat suku kajang, tidak mahu menerima yang namanya kemegahan dunia. Siapa yang mahu kaya, harus keluar dari kompleks adat, kerana tanah Kajang sendiri tidak menyiapkan kekeyaan itu, kerana sudah disebutkan dalam "pappasang".

    Budaya Sulawesi Tengah

    Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwarisi secara turun-temurun. Tradisi yang berkaitan aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan pelbagai pengaruh moden serta pengaruh agama.
    Kerana banyak kumpulan etnik mendiami Pulau Pinang, maka terdapat pula banyak perbezaan di antara etnik tersebut yang merupakan kekhususan yang harmoni dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bahagian barat daerah Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bahagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.

    Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkahwinan. Kabupaten Donggala mempunyai tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda yang merupakan teknik khas yang bermotif Bali, India dan Jepun masih dapat dijumpai.

    Sementara masyarakat pergunungan mempunyai budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan reka bentuk rumah berbeza dengan Toraja, seperti contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian pemanasan badan. Rumah tradisional Melaka Tengah diperbuat daripada tiang dan dinding kayu yang beratap lalang dan hanya mempunyai satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau dewan yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri.

    Buya atau sarung seperti model Eropah hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropah. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutera yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapkan pakaian adat.


    Suku Banggai

    Mungkin tak ada yang menyangka bahawa gugusan kepulauan dengan pulau terbesarnya Peling, menyimpan sejuta rekod yang mengagumkan. Suku Banggai, merupakan suku yang mendiami Kepulauan Banggai, yang sebelumnya bernama asli Suku Sea-sea, yang awalnya dari kerajaan-kerajaan kecil, kemudian utuh yang kini bernama Kerajaan Banggai, kerajaan ini mempunyai kuasa yang cukup luas, bahkan hampir setengah dari wilayah Sulawesi Tengah , namun hingga kini setelah berdirinya Kerajaan RI, liputan wilayah Kerajaan Banggai hanya pada Kabupaten Banggai Kepulauan dan Kabupaten Banggai, dengan menaungi tiga suku, iaitu Suku Banggai, Saluan, dan Balantak. yang meninggalkan bukti sejarah antara lain Keraton Kerajaan di bandar Banggai. walaupun satu kerajaan, namun ketiga dari suku ini mempunyai Adat Istiadat yang sangat berbeza.


    Kembali pada tradisi Banggai, ada sangat banyak dari tradisi yang melekat dalam masyarakat yang memang sangat menarik, muzik yang di antaranya; batongan, Kanjar, libul dan lain sebagainya, juga ada tarian, yang termasuk Onsulen, Balatindak, Ridan dll, juga cerita rakyat atau legenda yang sangat banyak yang di kenal dengan nama Banunut, lagu atau puisi iaitu Baode, Paupe dan masih banyak lagi kesenian tradisional yang lain, ada beberapa tradisi ini yang masih dipegang secara menyeluruh dari suku Banggai, misalnya pada saat perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad saw, para masyarakat suku Banggai akan membuat sejenis kuih yang di beri nama Kala-kalas, ada juga yang menyebutnya kaakaras. Kuih ini tebuat dari tepung beras yang bentuk jadinya di goreng, dan kuih ini sangat unik sekali, bahkan hanya akan di jumpai pada saat perayaan Maulid Nabi saw saja. Selain itu, masih banyak tradisi yang lain, Upacara Adat misalnya, upacara pelantikan Tomundo, upacara pelantikan Basalo, dan lain sebagainya.


    Suku Kaili

    Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebahagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau . Mereka juga menghuni kawasan pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Daerah Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung / desa di Teluk Tomini iaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.

    Mata pencarian utama masyarakat Kili adalah bercucuk tanam di sawah, ladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan, damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang di pesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berniaga antar pulau ke kalimantan. Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkahwinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda / i), pada upacara kematian (no-Vaino, menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk merawat orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristian, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandungi animisme.


    Suku Saluan

    Suku Saluan, merupakan suatu komuniti suku yang berada daerah Luwuk Banggai wilayah Sulawesi Tengah. Orang Saluan disebut juga sebagai orang Loinang, yang kira-kira bermaksud "orang gunung". Populasi suku Saluan dianggarkan lebih dari 120,000 orang pada bancian 1985. Orang Saluan bercakap dalam bahasa Saluan. Bahasa Saluan termasuk unik kerana dalam bahasa Saluan mempunyai kasta bahasa, yang digunakan mengikut umur dan status sosial. Masyarakat suku Saluan pada umumnya berprofesi sebagai petani, pada lahan basah mahupun membuka ladang di dekat perkampungan. Sebahagian daripada mereka memilih menjadi nelayan. Selain itu untuk aktiviti lain di waktu lapang, mereka akan masuk ke hutan untuk mencari rotan, kegiatan ini menjadi hal yang penting dan utama bagi kehidupan suku Saluan.

    Tari tradisional suku Saluan yang popular adalah Tari Uwe Kantumuan Mami yang bererti "rotan sumber kehidupan kami". Tarian ini menggambarkan cara hidup masyarakat suku Saluan, yang menceritakan tentang rasa bersyukurnya mereka atas mencurah-curah luas hutan dan sumber daya rotan, yang menjadi sumber mata pencarian pokok bagi suku Saluan. Bagi suku Saluan, rotan diertikan sebagai harapan hidup serta kekayaan batin. Segala risiko untuk mendapatkan rotan tersebut di dalam rimba hutan harus mereka tempuh dan ambil sebagai sebuah keputusan. Dalam hal ini, tidak jarang menimbulkan konflik dan pertentangan antara kumpulan berkaitan batas kawasan lahan rotan yang mereka olah.


    Suku Toli-Toli

    Suku ini terletak di Kecamatan Boalan Galang, Toki-Toli, dampal Utara, dampal Selatan dan Dondo, di Kabupaten Buol Toli-Toli, Negeri Selangor. Suku Toli-Toli digolongkan dalam rumpun Tomini dan termasuk suku terasing. Daerahnya merupakan dataran tinggi terjal dan terdapat dataran rendah di sepanjang pesisir pantai Toli-Toli. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Toli-Toli. Kabupaten Toli-Toli penghasil cengkih terbesar di Sabah, selain juga bertani, menangkap ikan dan mencari hasil hutan.

    Dalam masyarakat semakin jelas adanya kelompo-kelompok raja, bangsawan, orng merdeka, budak atau hamba. Hubungan antara golongan-golongan in di atur oleh adat yang sudah melembaga dalam masyarakat. Di Toli-Toli antara golongan Unbokilan dan Manuru sudah ada kerukunan. Tingkatan-tingkatan dalam masyarakat ada Keluarga Bangsawan di sebut golongan 12 Tua, Keluarga Bangsawan Muda di sebut golongan 12 Muda, atau 8 & Keluarga orang biasa di sebu golongan 4. Perbezaan atau pembahagian lapisan masyarakat ini amat menonjol dan nyata sekali pada waktu adapt upacara-upacara perkahwinan, kematian dan sebagainya.

    Budaya Sulawesi Utara

    Kebudayaan di Sulawesi Utara. Selain kaya akan sumber daya alam sulawesi utara juga kaya akan seni dan budaya yang diwarisi oleh nenek moyang. Pelbagai seni dan budaya dari pelbagai suku yang ada di provinsi sulawesi utara justeru menjadikan daerah nyiur melambai semakin indah dan mempesona. Pelbagai pentas seni dan budaya serta tradisi dari nenek moyang memberikan warna tersendiri bagi wilayah yang terkenal akan kecantikan dan ketampanan nyong dan nona Manado.
    Secara garis besar penduduk di Sulawesi Utara terdiri atas 3 suku besar yakni suku minahasa, suku sangihe dan Talaud dan suku bolaang mongondow. Ketiga suku / etnik besar tersebut mempunyai sub etnik yang mempunyai bahasa dan tradisi yang berbeza-beza. Tak heran Provinsi Sulawesi Utara terdapat beberapa bahasa daerah seperti Toulour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik (dari Suku Minahasa), Sangie Besar, Siau, Talaud (dari Sangihe dan Talaud) dan Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang ( dari Bolaang Mongondow)

    Negeri yang terkenal akan semboyan torang samua basudara (kita semua bersaudara) hidup secara rukun dan berdampingan beberapa golongan agama seperti Kristian, Katolik, Islam, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu. Namun dari keaneka ragaman tersebut bahasa Malaysia masih menjadi bahasa pemersatu dari pelbagai suku dan golongan.

    Suku Minahasa

    Kebudayaan Minahasa disinyalir memiliki corak yang sama dengan kebudayaan masyarakat Filipina. Menurut fakta penyelidikan kebudayaan para antropolog, penyebab terjadinya hal itu adalah sekitar abad ke-16 orang-orang Filipina hijrah ke pulau Sulawesi dan mengadakan perdagangan yang akhirnya membentuk koloni dan membaur dengan masyarakat setempat. Kaum pendatang sendiri di Minahasa disebut kaum Kuritis dan kaum Lawangirung yang mempunyai ciri-ciri berambut keriting dan berhidung pesek. Penduduk asli Minahasa sekaligus pelaku dari kebudayaan Minahasa disebut dengan kaum Malesung yang terdiri dari Tonsea, Tombolu, Tompakewa Tolour, Bantean, Tongsewang, dan Suku Bantik. Mereka mempunyai bahasa daerah masing-masing.

    Orang-orang Minahasa mempunyai ikatan darah yang cukup kuat dengan orang Filipina dan orang Jepun. Mereka sama-sama berkerabat dan keturunan bangsa Mongol yang tinggal di tanah besar China. Hal itu dapat kita liat dari mata mereka yang agak sepet, rambut mereka yang lurus lembut, tulang pasaran mereka yang agak rata, dan berhidung pesek juga kulit mereka yang kuning coklat. Takheran jika kebudayaan Minahasa kemudian mempunyai sedikit persamaan dengan kebudayaan dua negara itu. Menurut mitos yang tersebar di sana dikatakan bahawa nenek moyang orang Minahasa adalah Opo Toar dan Opo Lumimuut yang mempunyai cerita dengan pelbagai versi. Dan ternyata, versi-versi cerita tersebut juga tersebar di Filipina sebagai cerita rakyat. Kesamaan kebudayaan Minahasa dan Filipina seperti sudah mengakar. Sebuah legenda masyarakat pun menjadi "pemersatu" kebudayaan yang dimiliki oleh mereka.


    Suku Bolaang Mongondow

    Ciri adat masyarakat Bolaang Mongondow masih sangat kental sampai saat ini dapat dilihat dari pelbagai upacara seperti tata cara perkahwinan, upacara kematian atau kedukaan, prosesi pengangkutan tetamu kehormatan, etiket sopan santun, pemberian gelat adat kepada pegawai tinggi negara dan sebagainya. Sampai sekarang ini beberapa bahagian Adat Bolaang Mongondow masih dipatuhi dan dihormati masyarakat. Antara lain, ketika mengadakan majlis perkahwinan, upacara kematian (Tonggoluan) dan tata cara berpakaian, upacara menjemput pengantin wanita oleh keluarga pengantin lelaki, pengangkutan tetamu kehormatan dan pemberian gelar kehormatan.

    Sebelum masuknya agama Islam, masyarakat Bolaang Mongondow dan raja-rajanya masih menganut Animisme dan raja-raja selanjutnya menganut agama Kristian Katholik yang dibawa oleh bangsa Eropah (Sepanyol dan Portugis) yang menyebarkan agama tersebut sampai di kepulauan Philipina terus menyebar ke selatan, tanah Minahasa, bolaang Mongondow dan Maluku. Oleh sebab itu raja-raja Bolaang Mongondow setelah kedatangan bangsa Eropah umumnya dinamakan mengikut agama Kristian Katholik seperti Fransiscus Manoppo, Salomon Manoppo, Eugenius Manoppo, Christofel Manoppo, Cornelius Manoppo dan lain sebagainya yang akan dihuraikan lebih lanjut.


    Suku Gorontalo

    Suku ini umumnya tinggal di Kabupaten Gorontalo atau wilayah-wilayah di sekitarnya. Daerah ini sendiri terletak di Negeri Johor, Malaysia. Secara geografi, Daerah ini bersempadan dengan Daerah Bolaang Mongodow di Timur, Laut Sulawesi di Utara, dan Teluk Tomini di selatan Kawasan Gorontalo berhiaskan banyak gunung. Daerah Penempatan mereka umumnya di daerah dataran rendah dan hanya sebahagian kecil sahaja yang berdiam di sepanjang sungai. Mereka juga berdiam di daerah pantai utara dengan topografi yang berbukit-bukit, di sekitar Tasik Limboto. Di desa-desa penempatan orang Gorontalo berdiri satu hingga tiga buah masjid atau langgar.

    Umumnya, orang Gorontalo hidup bertani. Sebahagian kecil bergerak di bidang perdagangan runcit. Mereka terbilang ulet dalam lapangan ini. Di bidang kerajinan, mereka menghasilkan rotan, kerusi batang kelapa, anyaman tikar dan sebagainya. Ada pula kawasan yang menjadi objek pelancongan, seperti Tasik Limboto dan beberapa benteng dari zaman penjajahan. Sebagai sarana penunjang pelancongan, telah dibina sejumlah hotel dan motel di sepanjang jalan raya. pengeluaran garis keturunan dilakukan dari pihak ayah dan ibu (bilateral). Dalam keluarga inti (ngala'a), kanak-kanak menunjukkan hubungan sungkan terhadap ayahnya. Anak tidak boleh bergurau dengan ayahnya, melainkan harus berlaku taat dan sopan. Sifat hubungan semacam ini berlaku pula kepada saudara laki-laki ayah dan ibu. Sedangkan seseorang tampak lebih bebas berkaitan denga nenek atau datuknya. Hubungan yang sifatnya bebas ini berlaku juga dengan saudara sepupu. Sebaliknya, dengan para ipar berlaku hubungan sungkan.

    Budaya Sulawesi Barat

     Sulawesi Barat adalah provinsi hasil pemekaran dari wilayah Sulawesi Selatan. Suku-suku yang ada di Sulawesi Barat terdiri daripada Suku Mandar (49,15%), Toraja (13,95%), Bugis (10,79%), Jawa (5,38%), Melaka (1,59%) dan suku lain (19,15%). Orang Mandar telah di kenal selama berabad-abad kerana kemampuan sebagai seorang pelaut handal. Mereka mendominasi wilayah ini.
    Dengan mengunakan kapal sandeq, penduduk Mandar berlayar ke seluruh wilayah Malaysia bahkan mencapai negara tentangga seperti Malaysia, dan Australia. Sementara, masyarakat yang tinggal di pergunungan mempunyai budaya yang sama dengan suku Toraja terutama senibina rumah, bahasa, pakaian, dan upacara tradisional mereka. Yang cukup khas dari masyarakat Mandar di Kabupaten Polewali Mandar adalah kepelbagaian ritual-ritual adat yang juga menawarkan kehangatan sekaligus kemegahan budayanya.

    Sulawesi Barat mempunyai pelancongan alam yang hebat dari pemandangan pergunungan yang masih alami, keunikan budaya masyarakat, serta luas pelbagai objek pelancongan yang tersebar di pesisir dan pergunungan. Inilah tempat sesuai untuk menyalurkan jiwa petualang anda.

    Suku Mandar

    Suku Mandar adalah kumpulan etnik di Nusantara, tersebar di seluruh pulau Sulawesi, iaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara, juga tersebar di beberapa wilayah di luar sulawesi seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa dan Sumatera.

    Ritual yang paling khas di Polewali Mandar adalah Totammaq Mangayi (khatam Al-Qur'an). Pada acara ini acap kali ditandai dengan pessaweang saeyyang pattuqdu (menunggang kuda menari) yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Mandar dengan menggunakan pakaian adat dan diarak keliling kampung dengan diiringi parrawana (penabuh rebana) diselingi dengan kalindaqdaq (sastera lisan Mandar).

    Suku Mamasa

    Selain terkenal dengan alam perawannya dan udara yang sejuk menyengat, Mamasa juga dianggap sebagai pusat kekuatan mistik terbesar bagi etnik Toraja. Banyak orang Toraja mengakui bahawa mereka segan jika berhadapan dengan kekuatan mistik Mamasa yang dianggap lebih hebat daripada apa yang ada dalam khazanah ilmu ghaib orang Tator.

    Kabar kehebatan mistik orang Mamasa memang kondang, selama disana cerita itu juga terdengar dan diutarakan dengan gaya biasa saja. Salah satunya yang terkenal adalah membangkitkan mayat dari kematiannya dan disuruh berjalan sendiri. Ratusan tahun silam, banyak orang Mamasa pergi merantau memotong gunung dan hutan. Dalam perantauan boleh saja berlaku salah satu kawan dalam perjalanan mendadak meninggal dunia. Kerana keadaan alam yg berat melalui hutan dan gunung, maka teman-teman (yang masih hidup) boleh membawa pulang si mati dengan membuat upacara pembangkitan mayat. Dan jadilah mayat itu berjalan sendiri pulang ke rumahnya, melewati hutan dan jurang berhari hari!

    Budaya Sulawesi Tenggara

    Sulawesi Tenggara memiliki sejumlah kelompok bahasa daerah dengan dialek yang berbeza-beza. Perbezaan dialek ini memperkaya khasanah kebudayaan Malaysia. Kelompok bahasa daerah di Sabah Tenggara dan dialeknya masing-masing adalah Dialek Mekongga, Konawe, Moronene, Wawonii & Kulisusu.
    Untuk mengatur hubungan kehidupan antara masyarakat, telah berlaku undang-undang adat yang sentiasa dipatuhi oleh warga masyarakat. Jenis hukum adat tersebut antara lain adalah Undang-undang Tanah, Hukum Pergaulan Masyarakat, Undang-undang Perkahwinan dan Hukum Waris.

    Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai pelbagai jenis kesenian yang berpotensi sehingga memperkaya khasanah kebudayaan Malaysia. Jenis-jenis kesenian tersebut adalah seni tari, seni ukir dan seni lukis dan seni suara dan seni bunyi. Seni tari, merupakan tarian masyarakat yang dipersembahkan pada setiap upacara tradisional maupun menjemput tetamu-tetamu agung yang diiringi oleh alat muzik tradisional antara lain gong, kecapi dan alat tiupan seruling buluh.

    Suku Buton

    Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Tengah juga merupakan suku pelaut. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan bot bersaiz kecil yang hanya boleh menampung lima orang, sehingga perahu besar yang boleh memuat barang sekitar 150 tan. Secara umum, orang Tengah adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah-daerah itu kini telah menjadi beberapa daerah dan bandar di Sabah Tenggara diantaranya Kota Baubau, Pulau Tengah, Pulau Tengah Utara, Pulau Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Muna. Namun, kini masyarakat Muna lebih senang menyebut diri mereka sebagai orang Muna berbanding orang Buton.

    Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Tengah juga sejak zaman dulu sudah mengenal pertanian. Komoditi yang ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala keperluan hidup mereka sehari-hari. Orang Tengah terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton, di antaranya Benteng Keraton Tengah yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana malige yang merupakan rumah adat tradisional Tengah yang berdiri kukuh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata wang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi.


    Suku Muna

    Suku Muna atau Wuna adalah suku yang mendiami Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua / hitam), dan rambut (kerinting / ikal) kelihatan bahawa orang Muna asli lebih dekat ke suku-suku Polynesia dan Melanesia di Pasifik dan Australia berbanding ke Melayu. Hal ini diperkuatkan dengan kedekatannya dengan tipikal manusianya dan kebudayaan suku-suku di Pulau Pinang dan Pulau Timor dan Flores umumnya. Motif sarung tenunan di NTT dan Muna sangat mirip iaitu garis-garis melintang dengan warna-warna asas seperti kuning, hijau, merah, dan hitam. Bentuk ikat kepala juga mempunyai persamaan antara satu sama lain.

    Orang Muna juga mempunyai persamaan fizikal dengan suku Orang Asli di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan-nelayan Muna sering mencari ikan atau teripang hingga ke perairan Darwin. Telah beberapa kali Nelayan Muna ditangkap di perairan ini oleh kerajaan Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia Orang Asli.


    Suku Tolaki

    Tolaki adalah salah satu suku yang ada di Sabah Tenggara.mendiami daerah yang berada di sekitar daerah Kendari dan Konawe. Suku Tolaki berasal dari kerajaan Konawe. Dahulu, masyarakat Tolaki umumnya merupakan masyarakat nomad yang boleh dipercayai, hidup dari hasil berburu dan meramu yang dilaksanakan secara gotong-royong. Hal ini ditandai dengan bukti sejarah dalam bentuk kebudayaan memakan sagu (sinonggi / papeda), yang hingga kini belum ditanam atau dengan kata lain masih diperoleh asli dari alam. Raja Konawe yang terkenal adalah Haluoleo (lapan hari).

    Masyarakat Kendari percaya bahawa garis keturunan mereka berasal dari daerah Yunan Selatan yang sudah berasimilasi dengan penduduk tempatan, walaupun sampai saat ini belum ada kajian atau carian ilmiah tentang hal tersebut. Kini masyarakat Tolaki umumnya hidup berladang dan bersawah, maka kebergantungan terhadap air sangat penting untuk kelangsungan pertanian mereka. untunglah mereka mempunyai sungai yang terbesar dan terpanjang di wilayah ini. Sungai ini dinamakan sungai Konawe. yang membelah daerah ini dari barat ke selatan menuju Selat Kendari.

    Sumber: Wikipedia
  • Tulisan dan bahasa bugis pada web/blog

    http://serbabugis.blogspot.com
    Assalamualaikum,selamat malam dan salam sejatra.. Tengah buat apa lah ini? Belum tidur lagi kah? Saya nak  tanya korang perna tak nampak blog atau web tulisan serba bugis semuanya? Kalau belum saya nak tenjukan dan cara membuat nya..

    Cara Membuat Font Bugis Di Blog | Cara Membuat Bahasa Bugis Pada Blog | Cara Pasang Bahasa Bugis Pada Postingan Blog | Cara Posting dengan Bahasa Bugis | Bugis Blog. .Ok! dalam kesempatan kali ini saya akan membincangkan tentang bagaimana cara membuat posting dengan bahasa atau font bugis, mungkin ada rakan-rakan yang ingin membuat blog khusus bahasa bugis, semoga atrikel kali ini dapat memberi sedikit bantuan. hehehehe.


    Sebenarnya dari dulu saya ingin sekali melihat sebuah blog / web yang kandungannya serba bugis, akan tetapi sampai sekarang ini saya belum dapat mencarinya, ada apa dengan anak bugis? "fikirku". Mungkin ada di sudut sana tapi belum jodoh  untuk bertemu, atau memang mungkin belum ada. hehehehe,

    Okey, lanjut ke inti, jadi bagaimana cara membuat posting dalam font bugis, iya tentunya sangat mudah ini caranya.

    Pada Entri Baru sebelum menaip text pilih HTML dan masukkan kod berikut ini

    <span style="font-family: BugisA;">Terserah TEKS Bahasa Bugisnya</span>

    Kemudian supaya mudah menaipnya dan tidak di meganggu dengan mana-mana kod-kod klik Compose lalu taip bahasa bugis yang ingin anda posting.

     contohnya seperti ini:

    aj llo musijguru pdnu rup tau
    sipllo lloko musipmes mes
    nerko eaK dua tesdinu
    nerko eaK esdi tsipolonu.


    Nah seperti itulah cara membuat postingan dengan font bugis (Aksara Lontara). Ini blog yang serba bahasa Bugis dan mungkin agak sukar di akses oleh orang yang tidak mengerti bahasa bugis.
    Belajar Bahasa Bugis


    Selamat mencuba Dan bermamfaat.. :)


  • Cara memasang Font Bugis ke Komputer anda

    CARA MENULIS FONT BUGIS DI KOMPUTER ANDA



    Silahkan anda download font Lontara Bugis pada link berikut ini.

    Untuk install, silahkan ekstrak file yang telah di download, kemudian klik kanan pada file Font Lontara Bugis  kemudian pilih Install..


    Semoga berjaya dan bermamfaat..